JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita LH Simanjuntak menanggapi sejumlah kritik terhadap tuntutan berupa hukuman satu tahun penjara terhadap dua terdakwa kasus penyiraman air keras penyidik KPK, Novel Baswedan. Barita mengatakan, pihaknya memahami kekecewaan masyarakat terhadap tuntutan tersebut. “KKRI merasakan dan memahami kekecewaaan masyarakat atas tuntutan terhadap pelaku penganiayaan Novel Baswedan. KKRI sebenarnya berharap banyak agar aspek keadilan masyarakat mendapat perhatian serius, obyektif, dan proporsional,” tutur Barita ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (12/6/2020).
Menurut dia, Kejaksaan adalah representasi negara dalam penuntutan yang mewakili negara dan korban. Maka dari itu, penuntutan yang adil bagi korban dan masyarakat seharusnya dilakukan sebagai bentuk perlindungan negara. Apalagi, Novel merupakan penegak hukum yang aktif dalam kegiatan pemberantasan korupsi. Akibat kejadian itu pula, Novel mengalami luka berat hingga kehilangan penglihatan. “Seyogyanya aspek perlindungan negara kepada penegak hukum harus dilakukan dengan maksimal melalui penuntutan yang berkeadilan bagi korban dan masyarakat,” ujar dia. Kendati demikian, materi dan teknis penuntutan merupakan kewenangan jaksa. Dalam bertugas, Komisi Kejaksaan tidak dapat memengaruhi hal tersebut. “Sesuai Pasal 13 Perpres 18 Tahun 2011 tentang KKRI menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KKRI tidak boleh mengganggu tugas kedinasan dan mempengaruhi kemandirian jaksa dalam melakukan penuntutan,” kata Barita. Baca juga: Perjalanan Kasus Novel Baswedan yang Lebih Berat dari Tuntutan Jaksa (Bagian 2) Nantinya, Komisi Kejaksaan akan menyampaikan rekomendasi setelah ada putusan. Adapun dua terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis dituntut hukuman satu tahun penjara. JPU menganggap Rahmat Kadir terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan terlebih dahulu dan mengakibatkan luka berat. Sementara itu, Rahmat dinilai dituntut bersalah karena dianggap terlibat dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan Novel Baswedan kehilangan penglihatan.
Keduanya dituntut dengan Pasal 353 KUHP Ayat 2 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.
Rendahnya tuntutan tersebut menuai kritik dari berbagai pihak, misalnya, Tim Advokasi Novel Baswedan yang menganggap tuntutan yang rendah sebagai sesuatu yang memalukan dan mengonfirmasi bahwa sidang sebagai “sandiwara hukum”. “Tuntutan ini tidak hanya sangat rendah, akan tetapi juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan, terlebih ini adalah serangan brutal kepada Penyidik KPK yang telah terlibat banyak dalam upaya pemberantasan korupsi,” kata angota Tim Advokasi Novel, Kurnia Ramadhana. Ada pula yang menganggap tuntutan yang rendah telah mencederai hukum serta dianggap menggambarkan lemahnya komitmen Presiden Joko Widodo dalam pemberantasan korupsi.
sumber: nasional.kompas.com