Revisi UU Kejaksaan: Tuntutan Konstitusi Atas Kepastian Hukum Yang Berkeadilan.

Tulisan disampaikan oleh Anggota Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Dr. Ibnu Mazjah, S.H., M.H.

JAKARTA – Penataan dan reorientasi bidang penegakan hukum pasca reformasi melalui amandemen konstitusi, salah satunya dilakukan dengan memasukan frasa “untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan” dalam rumusan Pasal 24 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.

Di dalam penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan itu tentu melahirkan tuntutan akan sebuah pengembanan hukum bagi setiap lembaga yang bertugas melaksanakan penegakan hukum.

Menurut Lalu Muhamad Hayanul Haq, yang dimaksud dengan pengembanan hukum adalah rangkaian upaya untuk mewujudkan gagasan-gagasan ideal yang menjadi tujuan hukum, dimulai dari aktifitas intelektual, penggalian, pengkonstruksian, pemformulasian, pembadanan hingga pengajaran dan mempertahankannya di pengadilan.

Beranjak dari pandangan itu, ketika membahas tentang pengembanan hukum maka tidak sepantasnya bagi para pembelajar hukum untuk membuat pengkotak-kotakan di dalam menjalankan suatu kewajiban, ulangi, kewajiban, bukan pada persoalan hak.

Termasuk halnya dalam konteks revisi undang-undang kejaksaan yang kini tengah memasuki tahapan legislasi oleh lembaga DPR-RI.

Isu yang mencuat, satu diantaranya adalah kegiatan penyidikan lanjutan dan kewenangan-kewenangan lainnya oleh kejaksaan.

Upaya meng-goal-kan kewenangan itu tentunya juga tidak semestinya dimaknai sebagai sebuah tuntutan untuk mewujudkan hak-hak sebagaimana dimaksud.

Lebih dari itu, dengan mendasari pemikiran bahwa penegak hukum itu adalah pengemban hukum, maka seyogyanya pula pengemban hukum memiliki visi untuk mewujudkan kepastian hukum yang berkeadilan sebagai mandat dari konstitusi.

Pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkan kepastian hukum yang berkeadilan?

Kepastian hukum yang berkeadilan itu dapat dicapai apabila prosesnya dilakukan secara benar.

Tidaklah mungkin dapat tercipta suatu kepastian yang berkeadilan, kalau tidak ada kebenaran di dalamnya.

Di dalam konteks ilmu pengetahuan, seluruh produk-produk ilmu pengetahuan itu adalah akibat dari proses pembelajaran.

Ilmu pengetahuan yang benar hanya dihasilkan melalui proses penyelidikan dan penelitian yang benar.

Sama halnya dengan produk kepastian hukum. Kepastian hukum yang benar hanya dihasilkan melalui proses penyidikan yang benar.

Berjalinan dengan mandat besar konstitusi untuk menciptakan kepastian hukum yang berkeadilan, maka seluruh pengemban hukum terikat oleh kewajibannya menciptakan sistem penegakan hukum yang dapat betul-betul mewujudkan kebenaran.

Ketika para penegak hukum mempunyai mempunyai visi utuk mewujudkan kebenaran, maka seluruh penegak hukum itu harus memiliki tanggungjawab yang sama di dalam penegakan hukum.

Oleh sebab penegak hukum memiliki tanggungjawab yang sama, maka seharusnya kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan itu tidak dibatasi hanya kepada penyidik tunggal pada satu institusi tertentu, akan tetapi seluruh penegak hukum juga memiliki kewenangan yang sama di dalam melakukan penyidikan.

Argumentasi itu tentu berpijak pada amanat konstitusi.

Di dalamUndang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 24 ayat (3) tertuang tentang badan-badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur di dalam undang-undang (UU). UU kekuasaan kehakiman konteksnya tentu UU No.48 Tahun 2009.

Di dalam Pasal 38 ayat (2) disebutkan, fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksanaan putusan, pemberian jasa hukum dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Inilah yang menjadi sandaran bahwa polisi, jaksa, dan advokat kedudukannya adalah sama di hadapan hukum, selaku penegak hukum.

Atas dasar itulah, maka sepatutnya penegak hukum diikat oleh prinsip yang sama, yaitu prinsip kebenaran.

Lantas bagaimana mewujudkan kebenaran sehingga kebenaran itu dapat ditampilkan oleh pengadilan dan dapat dijadikan sebagai basis dalam membuat keputusan yang seadil-adilnya oleh hakim?

Jawaban atas pertanyaan tersebut sudah semestinya diformulasikan kembali kepada tujuan dan fondasi konstitusi.

Dalam hal ini tujuan sebagai fondasi adalah apa yang tertera di dalam Pasal 28 UUD 1945, yang satu diantaranya adalah hak atas kepastian hukum yang adil.

A contrario atas pasal tersebut, pemerintah terikat oleh kewajiban untuk menciptakan produk-produk hukum sebagai derivate dari konstitusi yang benar.

Bertalian dengan mewujudkan kepastian hukum yang berkeadilan maka harus ada sistem penegakan hukum yang kredibel.

Pada fase ini, diperlukan perbaikan di dalam sistem penyidikan yang bukan hanya sebatas kepada lembaga kepolisian, akan tetapi jaksa juga sebagai penegak hukum berhak untuk melakukan kontrol.

Bukan karena keinginan jaksa, dan bukan karena kehendak dari polisi, tapi hal itu karena kehendak dan interpretasi konstitusional.

Ketika terjadi konteks kemonopolian di dalam suatu proses penegakan hukum, maka berdasarkan konsep yang ideal dikhawatirkan terjadi monopoli secara total oleh salah satu institusi bukan hanya pada substansinya saja tetapi juga kepada turunan-turunan kebijakan lainnya.

Memang, gagasan di dalam RUU Kejaksaan yang menyatakan tidak ada penambahan kewenangan pada dasarnya disandarkan kepada argumentasi bahwa penuntutan itu juga mencakup kegiatan penyidikan.

Di dalam point ini, secara teknis bahwa apa yang dimaksud kepolisian sebagai penyidik tunggal, tidak dapat dibenarkan secara konstitusional.

Institusi yang harus menjadi penyidik, bukan hanya kepolisian tetapi semua penegak hukum.

Kiranya spirit daripada pembenahan sistem melalui revisi uu kejaksaan ini didasari oleh marwah konstitusi, bukan berdasarkan keinginan yang disampaikan oleh institusi atau lembaga secara sektoral.

Avatar
About the author

Leave a Reply

two × one =