Membangun Pilar Digital KKRI Untuk Penguatan Pengawasan Sebagai Kunci Keberhasilan Kinerja Kejaksaan RI*



Oleh: Nurokhman

A. Sekilas tentang KKRI
Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2011 sebagai penyempurnaan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 menetapkan Komisi Kejaksaan bertugas melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau Pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai peraturan perundang-undangan, kode etik, baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan, dan juga melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, tata kerja, kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan.
Komisi Kejaksaan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 memiliki perluasan wewenang dalam menangani laporan pengaduan dari masyarakat, yaitu selain dapat mengambil alih permeriksaan, juga berwenang melakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atas pemeriksaan yang telah dilakukan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan apabila ada bukti atau informasi baru yang dalam pemeriksaan sebelumnya belum diklarifikasi dan/atau memerlukan klarifikasi lebih lanjut, atau pemeriksaan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan tidak dikoordinasikan sebelumnya dengan Komisi Kejaksaan. Komisi Kejaksaan juga berwenang mengusulkan pembentukan Majelis Kode Perilaku Jaksa.
Komisi Kejaksaan dapat mengambil alih pemeriksaan apabila pemeriksaan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan tidak menunjukkan kesungguhan atau belum menunjukkan hasil nyata dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak laporan masyarakat atau laporan Komisi Kejaksaan diserahkan ke aparat pengawas internal Kejaksaan, atau apabila diduga terjadi kolusi dalam pemeriksaan oleh aparat internal Kejaksaan. Hasil pemeriksaan dimaksud disampaikan kepada Jaksa Agung dalam bentu krekomendasi Komisi Kejaksaan untuk ditindak lanjuti. Apabila rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti atau pelaksanaannya tidak sesuai rekomendasi, Komisi Kejaksaan dapat melaporkannya kepada Presiden.


B. Sekilas Sejarah Kejaksaan RI
Masa Kerajaan

Istilah Kejaksaan RI sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah Dhyaksa, Adhyaksa, dan Dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.
Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa Dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para Dhyaksa ini dipimpin oleh seorang Adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para Dhyaksa tadi.
Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa Adhyaksa adalah Pengawas (Opzichter) atau Hakim Tertinggi (Oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang Adhyaksa.

Masa Pendudukan Belanda

Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan Jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) dibawah perintah langsung dari Residen/Asisten Residen.
Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, Jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan Belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain:
a. Mempertahankan segala peraturan Negara.
b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana.
c. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.
Fungsi sebagai alat penguasa itu sangat kentara, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht.

Masa Pendudukan Jepang

Peranan Kejaksaan RI sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh UndangUndang Pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944. Eksistensi Kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri).
Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk:
1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran.
2. Menuntut Perkara.
3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
4. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

Masa Kemerdekaan

Saat Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku. Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945.
Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.

Masa Orde Lama

Menyangkut Undang-undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat Pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-undang ini menegaskan:
1. Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1);
2. Penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan Menteri/Jaksa Agung (Pasal 5); dan
3. Susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden.
Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan Kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.

Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada UndangUndang Nomor 5 Tahun 1991, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.

Masa Reformasi

Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini (Mei 2019) Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 24 periode kepemimpinan Jaksa Agung.
Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.
Masa Reformasi yang hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Kehadiran undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan RI dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan kekuasaan kehakiman dilaksankan secara merdeka.
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 35 yaitu:

Pasal 3OA
Dalam pemulihan aset, Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.

Pasal 30B
Dalam bidang intelijen penegakan hukum, Kejaksaan berwenang:
a. Menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamarlan, dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum;
b. Menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan;
c. Melakukan kerja sarna intelijen penegakan hukum dengan lembaga intelijen dan/atau penyelenggara intelijen negara lainnya, di dalam maupun di luar negeri;
d. Melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi, nepotisme; dan
e. Melaksanakan pengawasan multimedia.

Pasal 30C
Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 3OB Kejaksaan:
a. Menyelenggarakan kegiatan statistik kriminal dan kesehatan yustisial Kejaksaan; b. Turut serta dan aktif dalam pencarian kebenaran atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan konflik sosial tertentu demi terwujudnya keadilan;
c. Turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya;
d. Melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan pidana pengganti serta restitusi;
e. Dapat memberikan keterangan sebagai bahan informasi dan verifikasi tentang ada atau tidaloeya dugaan pelanggaran hukum yang sedang atau telah diproses dalam perkara pidana untuk menduduki jabatan publik atas permintaan instansi yang berwenang;
f. Menjalankan fungsi dan kewenangannya di bidang keperdataan dan/atau bidang publik lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang;
g. Melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan uang pengganti; h. mengajukan peninjauan kembali; dan
i. melakukan penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana.

Pasal 33
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dan komunikasi dengan:
a. lembaga penegak hukum dan instansi lainnya;
b. lembaga penegak hukum dari negara lain; dan
c. lembaga atau organisasi internasional.

Pasal 34
Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada Presiden dan instansi pemerintah lainnya.

Pasal 34A
Untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan/atau Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik.

Pasal 34B
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang, Jaksa dapat menggunakan tanda nomor kendaraan bermotor khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 34C
(1) Penuntut Umum dapat mendelegasikan sebagian kewenangan Penuntutan kepada penyidik untuk perkara tindak pidana ringan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian sebagian kewenangan Penuntutan oleh Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kejaksaan.

Pasal 35
(1) Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan;
b. Mengefektifkan penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang;
c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam lingkup peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, dan peradilan militer;
e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi dalam lingkup peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, dan peradilan militer;
f. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
g. Mengoordinasikan, mengendalikan, dan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan Penuntutan tindak pidana yang dilakukan bersama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer;
h. Sebagai penyidik dan Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
i. Mendelegasikan sebagian kewenangan Penuntutan kepada Oditur Jenderal untuk melakukan Penuntutan;

Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab. Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini mestinya dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam memerangi korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja dialami oleh Kejaksaan, namun juga oleh Kepolisian RI serta badan-badan lainnya. Kendala tersebut antara lain:
1. Modus operandi yang tergolong canggih.
2. Pelaku mendapat perlindu ngan dari korps, atasan, atau teman-temannya.
3. Objeknya rumit (complicated), misalnya karena berkaitan dengan berbagai peraturan.
4. Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan
5. Manajemen sumber daya manusia.
6. Perbedaan persepsi dan interprestasi (di kalangan lembaga penegak hukum yang ada).
7. Sarana dan prasarana yang belum memadai.
8. Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan serta pembakaran rumah penegak hukum.

C. Tantangan Era Revolusi Industri 5.O

Era revolusi industri 5.O merupakan kelanjutan dari era revolusi industry 4.O yang lebih menitikberatkan pada pengembangan teknologi. Berbeda dengan pada masa kini yang menitikberatkan pada keterlibatan manusia untuk mendayagunakan seluruh perangkat tersebut. Teknologi dinyatakan dari bagian kehidupan manusia sendiri. Sehingga seluruh standar operasional yang biasanya menitikberatkan dari bagaimana mesin bekerja disesuaikan dengan kekurangan dan kelebihan manusia sebagai operatornya.
Dalam era revolusi industri 5.O sekarang ini, lahirnya inovasi-inovasi terbaru berbasis teknologi semakin tak terbendung, mengakibatkan berubahnya cara berpikir manusia, hidup, dan berhubungan satu dengan yang lain. Perubahan yang signifikan pada bidang teknologi, menyebabkan perubahan pada bidang lain, seperti ekonomi, sosial, Politik dan Hukum, Ini juga akan mempengaruhi perubahan kebutuhan sumber daya manusia (SDM), apalagi SDM adalah salah satu faktor keberhasilan dari era digital transformation. Inovasi dan transformasi digital yang terjadi saat ini dan pengembangannya pascapandemi sangat diperlukan dan menjadi skala prioritas.
Situasi sulit karena pandemi Covid-19 pada tahun yang lalu, mempercepat proses digitalisasi dalam hampir semua aspek kehidupan manusia. Demi menekan penyebaran virus, semua pihak harus memaksimalkan kekuatan teknologi bekerja, misalnya Kejaksaan RI dalam melaksanakan tugasnya di bidang penuntutan menyelenggarakan sidang on line, kemudian pendidikan jaksa tahun 2020 diselenggarakan secara virtual, rapat-rapat diselenggarakan secara virtual termasuk rapat kerja Kejaksaan RI Tahun 2020, demikian pula dalam dunia pendidikan, kegiatan belajar mengajar dilakukan secara virtual dan sekian hal yang hari ini terlihat menjadi normal baru dalam kehidupan saat ini.
Untuk menghadapi perkembangan kemajuan teknologi informasi yang berlangsung pesat dan cepat dewasa ini, Kejaksaan RI dalam melaksanakan program kerjanya memerlukan teknologi informasi beserta pengelolaan dan pemanfaatannya yang mengacu kepada Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) ini telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor: 95 Tahun 2018 yang ditanda tangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Oktober 2018.
Mengacu pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan RI, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan hukum, penegakkan HAM, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Latar belakang institusi kejaksaan RI memerlukan tata kelola penyelenggaraan institusi berbasis elektronik adalah:
1. Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
2. Institusi Kejaksaan RI dalam melaksanakan tugasnya berhubungan dengan pelayanan publik. Dalam pelayanan publik yang dilakukan secara konvensional adakalanya membuka peluang perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh oknum-oknum aparatur, maka dengan teknologi informasi berperan penting dalam menjaga setiap aparatur melayani tanpa harus bersentuhan langsung dengan masyarakat yang mencari keadilan. Selain itu pelayanan publik yang dilaksanakan secara konvensional juga membutuhkan waktu yang lama sehingga penyelesaian pekerjaan tidak cepat dan manfaatnya tidak maksimal dirasakan oleh masyarakat.
3. Era globalisasi menyebabkan semakin canggihnya teknologi informasi sehingga telah membawa pengaruh terhadap munculnya berbagai bentuk kejahatan yang sifatnya modern yang berdampak lebih besar daripada kejahatan konvensional. Hal ini tentunya berhubungan dengan Institusi Kejaksaan RI selaku aparat penegak hukum, yang mempunyai tugas dan kewenanganya melaksanakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan.
Bahwa dalam Peraturan Presiden Nomor: 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) pada pasal 5 Ayat (2) huruf a: Rencana induk SPBE memuat antara lain: visi dan misi SPBE.
Adapun visi dan misi SPBE tahun 2018 -2025 adalah
Visi SPBE:
“Terwujudnya sistem pemerintahan berbasis elektronik yang terpadu dan menyeluruh untuk mencapai birokrasi dan pelayanan publik yang berkinerja tinggi”.
Misi SPBE:
1. Melakukan penataan dan penguatan organisasi dan tata kelola sistem pemerintahan berbasis elektronik yang terpadu;
2. Mengembangkan pelayanan publik berbasis elektronik yang terpadu, menyeluruh, dan menjangkau masyarakat luas;
3. Membangun fondasi teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi, aman, dan andal; dan
4. Membangun SDM yang kompeten dan inovatif berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Visi SPBE tersebut selaras dengan visi Presiden RI untuk Indonesia 2019-2024 nomor 4: Reformasi birokrasi (Kecepatan melayani dan memberi izin, Menghapus pola pikir linier, monoton dan terjebak di zona nyaman, Adaptif, produktif, inovasi kompetitif)
Bahwa dalam menghadapi Sistem Pemerintahan Berbasis Teknologi saat ini, maka Kejaksaan RI dalam penyelenggaraan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang, memerlukan teknologi informasi dan komunikasi beserta pengelolaan dan pemanfaatan teknologi informasi yang handal dan terintegrasi di lingkungan Kejaksaan RI. Hal ini untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas penegakan hukum yang transparan dan akuntabel sehingga dapat memberikan pelayanan hukum yang berkualitas dan berkeadilan pada masyarakat.
Tercapainya pelayanan hukum yang berkualitas adalah implementasi dari perintah harian Jaksa Agung pada nomor 4: meningkatkan pelayanan publik yang transparan, efektif serta efisien guna memulihkan dan membangun kepercayaan publik. Salah satu upaya untuk melaksanakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (T.I.K) di lingkungan Kejaksaan RI tersebut, dibentuk Komite Teknologi Informasi dan Komunikasi (T.I.K) kejaksaan RI., maka pada tanggal 18 Oktober 2019 Jaksa Agung RI telah mengeluarkan Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : KEP-299 /A/JA/10/2019 Tentang Komite Teknologi Informasi dan Komunikasi Kejaksaan RI, yang mana Wakil Jaksa Agung RI ditunjuk dan diberi tanggung jawab sebagai Ketua Komite Teknologi Informasi dan komunikasi Kejaksaan RI.
Dibentuknya Komite T.I.K. di lingkungan Kejaksaan RI tersebut adalah untuk mendukung penyelengaraan teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi di Lingkungan Kejaksaan RI, hal ini selaras dengan visi SPBE diatas dan sejalan dengan arah kebijakan Jaksa Agung RI nomor 4: pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung keberhasilan tugas tugas Kejaksaan.
Dalam melaksanakan tugasnya, komite TIK berupaya untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas penegakan hukum yang transparan dan akuntabel yang berbasis elektronik sehingga dapat memberikan pelayanan hukum yang berkualitas dan berkeadilan pada masyarakat. Strategi yang dilakukan untuk menghadapi SPBE di era teknologi informasi dilingkungan Kejaksaan RI saat ini adalah :
1. Penyusunan blue print pengembangan Sistem Teknologi Informasi dan komunikasi Kejaksaan Tahun 2020 – 2025.
Komite TIK Kejaksaan RI mendukung pembentukan dan penyusunan blue print terkait pelaksanaan dan penggunaan teknologi informasi di Lingkungan Kejaksaan, khususnya dalam mendukung tugas dan fungsi Kejaksaan RI, antara lain tersedianya server penyimpanan data sebagai back up data dan pusat bank data di lingkungan Kejaksaan RI, penggunaan sarana dan prasarana video conference untuk memantau perkembangan isu-isu strategis dan pengarahan yang menyentuh langsung satuan kerja di seluruh wilayah kejaksaan RI. Dalam Penyusunan blue print pengembangan Sistem Teknologi Informasi dan komunikasi menjadi tugas dan tanggung jawab Pusdaskrimti yang sampai saat ini penyusunannya masih dalam proses penyelesaian.
2. Penyusunan regulasi teknologi informasi di lingkungan Kejaksaan RI
Selama ini pada satuan kerja di daerah banyak menggunakan aplikasi yang beragam, berbeda-beda serta tidak konsisten seiring pergantian pimpinan dan ganti kebijakan, hal ini terjadi karena belum ada pedoman regulasi teknologi informasi dilingkungan Kejaksaan, maka untuk mengatasi ini perlu disusun rencana Peraturan Jaksa Agung terkait penyelenggaraan sistem teknologi informasi dan komunikasi Kejaksaan RI dalam rangka penguatan pengadaan, pengelolaan, maintance serta pengembangan sistem T.I.K di lingkungan Kejaksaan RI yang terintegrasi dibawah koordinasi Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri serta Pusat Daskrimti, sehingga semua sIstem TIK dapat dilaksanakan secara konsisten.
3. Peningkatan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) SPBE dengan menciptakan SDM aparatur kejaksaan yang berkualitas
Bahwa sumber daya manusia SPBE diarahkan dengan melakukan pengembangan kepemimpinan SPBE di lingkungan Kejaksaan RI serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia (berintegritas, kompeten, kompetitif dan profesional). Peningkatan dan Pengembangan SDM menjadi suatu hal yang utama, karena SDM adalah kunci dalam proses layanan terhadap publik yang ada pada kejaksaan RI.
Peningkatan dan pengembangan SDM SPBE di lingkungan Kejaksaan RI dapat dicapai melalui:
1. Peningkatan pengetahuan dan penerapan praktik terbaik SPBE,
2. Pembangunan budaya kerja berbasis SPBE,
3. Pendidikan dan pelatihan ilmu pengetahuan teknologi informasi
4. Pelaksanaan Forum Group Discussion (FGD)
5. Pelaksanaan kemitraan dengan berbagai pihak.
Upaya peningkatan dan pengembangan SDM SPBE ini sesuai dengan arah kebijakan Kejaksaan RI 2020 – 2024 Nomor 1 : Meningkatkan kualitas SDM Aparatur Kejaksaan RI.
4. Optimalisasi pemanfaatan dan penggunaan infrastruktur Sistem Teknologi Informasi dan Komunikasi
Sarana dan prasarana sistem teknologi informasi dan komunikasi dilingkungan Kejaksaan RI harus dilakukan secara optimal, beberapa sarana dan prasarana di lingkungan kejaksaan RI seperti jaringan internet, koneksi internet, server dan storage, perangkat komputer, data center, e-mail, ruang SIMKARI dan lain-lain, harus dioptimalkan pemanfaatan dan penggunaannya. Upaya optimalisasi pemanfaatan sistem teknologi informasi ini sesuai dengan arah kebijakan Kejaksaan RI 2020-2024 Nomor 6 : Meningkatkan kualitas kinerja Kejaksaan RI berbasis Teknologi Informasi.
5. Penyelenggaraan tata kelola teknologi informasi yang terintegrasi.
Pengembangan sistem T.I.K Kejaksaan RI berada dibawah koordinasi Pusat Daskrimti, pengembangan tersebut dititik beratkan pada bussines proses yang merupakan tupoksi masing-masing bidang. Peran Pusat Daskrimti sebagai pelaksana pengembangan sistem TIK Kejaksaan RI dilaksanakan dalam 3 tahapan:
1. Fase pertama terintegrasinya seluruh sarana dan prasarana TIK di instansi kejaksaan RI.
2. Terlaksananya bussines process sesuai tupoksi masing masing bidang dalam bentuk paperless dengan mengoptimalkan sarana aplikasi e-office.
3. Tersedianya informasi dan dokumentasi melalui media digital archive dalam satu bank data terpadu yang secara real time dapat disajikan sebagai bentuk pelayanan publik dibawah koordinasi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kejaksaan RI.
Penyelenggaraan tata kelola teknologi informasi yang terintegrasi ini sesuai dengan arah kebijakan Kejaksaan RI 2020-2024 Nomor 6 : Meningkatkan kualitas kinerja Kejaksaan RI berbasis Teknologi Informasi.
6. Pelayanan publik yang berbasis teknologi informasi (Elektronik).
Era Teknologi Informasi saat ini mendorong kejaksaan RI untuk menyesuaikan perkembangan teknologi dengan sistem kerja yang ada. Penyesuaian dimaksud dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap kinerja Kejaksaan RI. Sampai saat ini Kejaksaan RI telah melakukan pemanfaatan teknologi dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik antara lain: PTSP, E-LO (Pembuatan Legal opinion), E-lapdu, dan lain-lain. Langkah-langkah Kejaksaan RI dalam memanfaatan teknologi elektronik terbukti menghasilkan kinerja yang efesiensi dan efektif serta mencegah adanya penyelewengan layanan publik.
7. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan tata kelola teknologi informasi.
Terhadap pelaksanaan tata Kelola teknologi informasi di lingkungan Kejaksaan RI perlu dilakukan monitoring dan evaluasi. Hal itu perlu dilakukan agar tujuan tata Kelola teknologi informasi di lingkungan Kejaksaan RI yang bersih, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dapat terwujud. Untuk mendukung kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan dengan:
1. Dibentuknya Komisi Teknologi informasi dan Komunkasi (TIK) dilingkungan Kejaksaan RI.
2. Membuat sistem aplikasi Dashboard Eksekutif sehingga pimpinan dapat memonitor dan evaluasi setiap pelaksanaan tugas masing masing bidang.
3. Membuat pelaporan pelaksanaan tata kelola teknologi informasi secara rutin kepada pimpinan.
4. Melakukan audit sarana dan prasarana Teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan Kejaksaan RI.

D. PERAN KKRI

Pengawasan sebagai suatu proses yang menjamin bahwa segala kegiatan yang dijalankan institusi telah sesuai dengan sasaran yang telah ditentukan dan sesuai dengan tujuan yang hendak diraih. Pengawasan menjadi penting dilakukan guna melakukan penilaian, evaluasi, dan tindakan korektif yang diperlukan, manakala terjadi penyimpangan. Sehingga, diperlukannya sinergitas yang terintegrasi antara Komisi Kejaksaan RI dengan Kejaksaan RI khususnya Bidang Pengawasan dalam rangka mewujudkan Peningkatan Kinerja Kejaksaan RI. Mengingat penguatan pengawasan diperlukan, karena Bidang Pengawasan merupakan elemen vital yang memastikan keberhasilan kinerja Bidang Pembinaan, Bidang Pidana Umum (Pidum), Bidang Pidana Khusus (Pidsus), Bidang Intelijen, Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun), Bidang Pidana Militer (Pidmil) dan Bidang Pendidikaan dan Pelatihan (Diklat).

Penguatan pengawasan merupakan aspek fundamental dalam upaya memenuhi ekspektasi masyarakat yang menginginkan Kejaksaan menjadi institusi penegak hukum yang berintegritas, profesional, dan terpercaya. Sehingga penguatan pengawasan dibutuhkan sebagai motor penggerak yang mengakselerasi perubahan dan perbaikan guna meningkatkan performa kinerja institusi dalam upaya memulihkan dan menumbuhkan kepercayaan publik (public trust).

Beberapa hal yang perlu dilakukan menjadi prioritas oleh Komisi Kejaksaan RI, antara lain yaitu:
a. Senantiasa berbenah, memperbaiki, dan menyempurnakan segenap potensi dan kapasitas yang dimiliki.
b. Membentuk kapabilitas dan kompetensi yang mumpuni dari para personilnya.
c. Mengupayakan terobosan-terobosan melalui instrument lainnya, yaitu melalui pembangunan dan pengembangan teknologi informasi.
d. Merevitalisasi peran dan fungsinya dengan tidak hanya berperan layaknya “anjing penjaga” (watchdog), yang memastikan ketaatan dan kepatuhan melalui instrument penghukuman semata. Namun, juga diharapkan Bidang Pengawasan dapat mengoptimalkan perannya sebagai “dokter” dan “konsultan” yang mampu mendiagnosa, mengobati, meluruskan, memberikan nasihat (advice), dan mencegah terjadinya penyimpangan.
Selain itu, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) perlu melakukan kegiatan/pertemuan rutin dengan Kejakasaan Agung dengan tujuan:
1. Melakukan evaluasi atas berbagai hal yang telah dialami sebagai bahan introspeksi, untuk mengetahui kekurangan, kelemahan, sekaligus potensi yang dimiliki.
2. Mengidentifikasi dan menginventarisir setiap kendala dan hambatan aktual yang tengah dihadapi.
3. Memformulasikan solusi, arah kebijakan, strategi, dan terobosan dalam upaya mewujudkan penguatan Bidang Pengawasan.
Sehingga Komisi Kejaksaan RI (KKRI) dan Kejaksaan Agung mampu menghadirkan penguatan secara kelembagaan yang berkorelasi bagi hadirnya penegakan hukum yang berkualitas, dan berkontribusi untuk membangun kepercayaan publik (public trust) yang belandaskan Satya Adi Wicaksana. (*Berbagai sumber)

Avatar
About the author

Leave a Reply

three × 4 =